Breaking News

Wednesday, 23 September 2020

Hewan Terancam Punah dan Kerusakan Lingkungan, Apa Hubungannya dengan Wabah Penyakit Baru?

 Hewan Terancam Punah dan Kerusakan Lingkungan, Apa Hubungannya dengan Wabah Penyakit Baru?




   Kerusakan lingkungan semakin cepat dan umat manusia harus segera mengambil langkah untuk memberi ruang bagi alam memulihkan diri. Sebab, berbagai penyakit baru mulai bermunculan dan mengancam kehidupan manusia di planet ini. Menyusul laporan dari Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati, yang mengemukakan delapan poin transisi utama yang dapat membantu menghentikan kemerosotan yang terjadi di alam. "Segalanya harus berubah," kata sekretaris eksekutif konvensi, Elizabeth Maruma Mrema seperti dikutip dari BBC, Jumat (18/9/2020).


Lantas, apa hubungannya eksploitasi alam dan kesehatan masyarakat? Setiap tahun, wabah penyakit baru telah muncul pada populasi manusia sekitar tiga sampai empat kali. Bahkan, penyakit baru ini semakin mudah menular dari manusia ke manusia, yang berpotensi memicu sebuah pandemi. Seperti yang sedang kita hadapi saat ini, pandemi virus corona yang menyebabkan penyakit baru, Covid-19. Tak hanya itu, sebagian besar wabah yang muncul disebabkan oleh penyakit hewan yang menyebar ke populasi manusia. Di antaranya Ebola dan HIV yang juga berasal dari primata. Bahkan, ilmuwan mengaitkan kasus Ebola dengan konsumsi hewan yang terjangkit virus ebola.

Gigitan dari hewan yang terinfeksi rabies juga merupakan cara paling efektif penularan suatu penyakit. Bahkan, 20 tahun sebelum munculnya pandemi Covid-19, SARS, MERS, flu babi dan flu burung, semua penyakit disebabkan oleh hewan. Saat berupaya merekayasa ulang alam, secara tidak langsung manusia telah melanggar reservoir penyakit hewan dan menempatkan diri kita pada risiko tersebut. "Semakin banyak kita memengaruhi populasi satwa liar, seperti menebang hutan, dan menyebabkan hewan berpindah dan memasuki lingkungan kita, maka itu akan menyebabkan patogen (sumber penyakit)," ungkap Profesor Matthew Baylis, seorang ahli epidemiologi hewan dari Universitas Liverpool di Inggris. Profesor Baylis menyimpulkan dalam skala global kita telah memfasilitasi penyebaran penyakit atau patogen dari hewan ke manusia.


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Hewan Terancam Punah dan Kerusakan Lingkungan, Apa Hubungannya dengan Wabah Penyakit Baru?", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/sains/read/2020/09/18/080200123/hewan-terancam-punah-dan-kerusakan-lingkungan-apa-hubungannya-dengan-wabah.

Editor : Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Hewan Albino

 Serba-serbi Hewan Kenapa Ada Satwa Albino


 

       Hewan albino tergolong langka. Karena warna tubuhnya yang mencolok, hewan- hewan albino lebih mudah diburu oleh predator di alam liar.

      Makhluk albino kehilangan pigmentasi sebagian atau seluruhnya, sehingga warna kulitnya lebih pucat dibandingkan dengan anggota spesies lainnya. Lantas, apa sebenarnya albinisme? Baca juga: Terungkap, Begini Wujud Panda Albino Pertama di Dunia Dilansir National Geographic, 6 Maret 2019, albinisme pada mamalia terjadi ketika seekor hewan mewarisi satu atau lebih gen yang bermutasi dari kedua orangtuanya. Gen ini yang akhirnya mengganggu produksi melanin tubuh. 

   Melanin merupakan pigmen yang memberi warna pada kulit, bulu, dan mata. Produksi melanin terjadi di dalam melanosit, sel khusus yang ada tetapi tidak berfungsi penuh pada mamalia albino. Tak cuma mamalia yang bisa albino, hewan non-albino juga dapat mengalaminya. 

   Namun karena hewan non-mamalia dapat menghasilkan pigmen lain selain dari melanin, mereka mungkin tidak tampak putih sepenuhnya. Bahkan mamalia albino dapat menunjukkan warna jika gen pembuat melaninnya belum rusak total. Penting untuk diperhatikan bahwa tidak semua hewan berkulit putih adalah albino.

  Beberapa hewan hanya berkulit terang, mereka mungkin menderita kondisi lain, seperti leucisme dan isabellinisme. Baca juga: Terungkap, Begini Wujud Panda Albino Pertama di Dunia Membedakan hewan yang albino dan tidak Sebenarnya cukup mudah untuk untuk membedakan antara hewan albino dan hewan tanpa penyakit.

  Ini bisa dilihat dari matanya. Pembuluh darah yang biasanya tertutup pigmen terlihat pada makhluk albino, membuat warna mata mereka menjadi merah muda. Satwa liar albino mungkin menghadapi hambatan di alam. Mereka sering memiliki penglihatan yang buruk. 




         Hal ini yang membuat mereka dirugikan saat berburu makanan dan menghindari predator. Dalam beberapa kasus mereka kesulitan menemukan pasangan, dan ketidakmampuan mereka untuk menyamar sehingga membuat mereka rentan terhadap predator.  Hewan albino dan satwa liar pucat lainnya juga lebih rentan terhadap pemburu yang ingin memanfaatkan permintaan yang meningkat akan hewan peliharaan eksotis atau hewan langka. Baca juga: Alba, Orangutan Albino Satu-satunya Akan Punya Pulau Sendiri Rusa albino begitu memikat para pemburu, sehingga beberapa negara bagian AS melarang mereka diburu

        Ancaman terhadap hewan-hewan ini begitu nyata sehingga sebuah organisasi nirlaba membeli sebuah pulau di lepas pantai Indonesia hanya untuk membangun tempat perlindungan di sana. Namun, beberapa makhluk albino berkembang baik di alam liar. Di Olney, Illinois, terdapat populasi yang berkembang hampir seratus tupai albino. Kota ini sangat bangga dengan mereka sehingga mendorong penduduk untuk memberi mereka makan dan telah mengeluarkan undang-undang untuk melindungi mereka dari tertabrak kendaraan. 


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Serba-serbi Hewan: Kenapa Ada Satwa Albino?", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/sains/read/2020/09/23/170200823/serba-serbi-hewan--kenapa-ada-satwa-albino-.
Penulis : Dinda Zavira Oktavia
Editor : Gloria Setyvani Putri

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Badak sumatra

                 Badak Sumatera Kritis, Berikut Upaya Penyelamatan Populasi Satwa Asli Indonesia Ini





                 Kekayaan biodiversitas Indonesia telah diakui dunia, dan semua pihak berharap kelestarian ekosistem tersebut tetap terjaga. Badak Sumatera menjadi salah satu satwa biodiversitas asli Indonesia.

       Saat ini, spesies badak ini masuk dalam status konservasi terancam kritis (critically endangered)      menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) untuk Konservasi Alam. Badak Sumatera merupakan spesies langka dari famili Rhinocerotidae, yang dikenal juga sebagai badak berambut atau badak Asia bercula dua (Dicerorhinus sumatrensis). 

            Untuk diketahui, Badak Sumatera ini dianggap menarik karena spesies ini hanya satu-satunya yang tersisa dari genus Dicerorhinus dan termasuk salah satu dari lima spesies yang masih lestari di dunia. Baca juga: Ilmuwan Malaysia Gunakan Teknologi Kloning Kembalikan Badak Sumatera   Namun, ternyata populasi badak Sumatera kian mengkhawatirkan karena diperkirakan jumlah populasinya kurang dari 100 ekor atau bahkan di bawah jumlah 80 ekor saat ini. Upaya penyelamatan Badak Sumatera Pada tahun 1990, saat penyusunan Strategi dan Rencana Aksi (SRAK) Badak Indonesia 1993-2003, jumlah badak Sumatra diperkirakan berjumlah sekitar 400 individu. Akan tetapi, dari banyak usaha perlindungan yang sudah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sipil, jumlah populasi badak asli Indonesia ini terus berkurang. Sebagai upaya penyelamatan populasi Badak Sumatera, Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Darurat (RAD) atau Emergency Action Plan (EAP) di tahun Penyelamatan Populasi Badak Sumatera 2018-2021.   

       RAD ini merupakan langkah strategis, mendesak, revolusioner, dan memiliki prioritas tinggi untuk menyelamatka Badak Sumatera dari kepunahan. RAD ini dianggap menjadi sangat penting karena beberapa faktor sebagai berikut. Di antaranya adalah mengingat saat ini populasi Badak Sumatera kecil, laju perkembangbiakan yang rendah, adanya populasi yang terisolir dan tidak viabel, serta tingginya ancaman perburuan dan kehilangan habitat. Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, Riki Frindos menuturkan dalam upaya mendukung RAD pelestarian Badak Sumatera ini, Yayasan Kehati ikut serta dalam mengeluarkan dana untuk perlindungan spesies tersebut melalui program Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera dan TFCA Kalimantan. 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Badak Sumatera Kritis, Berikut Upaya Penyelamatan Populasi Satwa Asli Indonesia Ini", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/sains/read/2020/09/23/130200123/badak-sumatera-kritis-berikut-upaya-penyelamatan-populasi-satwa-asli

                             


        Dana yang dikeluarkan untuk perlindungan spesies dalam rangka mendukung RAD ini senilai hampir Rp100 miliar untuk di Sumatera, dan sekitar Rp16 miliar di Kalimantan. "Yayasan Kehati melalui mitra-mitra di tingkat lokal dan bersama seluruh pihak akan terus mendukung program pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia, termasuk penyelamatan Badak Sumatera, baik yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan," kata Riki dalam diskusi daring bertajuk Urgensi Penyelamatan Populasi Badak Sumatra, Selasa (22/9/2020).

 

Riki berkata, dalam upaya penyelamatan satwa dan menjaga kelestarian alam, tidak dapat dilakukan hanya dengan satu jalan saja.

 

        Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Badak Sumatera Kritis, Berikut Upaya Penyelamatan Populasi Satwa Asli Indonesia Ini", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/sains/read/2020/09/23/130200123/badak-sumatera-kritis-berikut-upaya-penyelamatan-populasi-satwa-asli?page=2. Penulis : Ellyvon Pranita Editor : Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat: Android: https://bit.ly/3g85pkA iOS: https://apple.co/3hXWJ0L